Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.

Sekolah Bukan Pabrik Sepatu: Merayakan Keunikan dalam Proses Pendidikan

Oleh: Djoko Iriandono*)

Bayangkan sebuah pabrik sepatu terkemuka. Bahan bakunya dipilih dengan ketat, semuanya memiliki standar kualitas yang sama. Mesin-mesin canggih diatur dengan presisi untuk memotong, menjahit, dan merekatkan setiap bagian. Tenaga kerjanya terampil dan mengikuti prosedur operasi standar yang baku. Hasilnya dapat ditebak: ribuan pasang sepatu yang nyaris identik, dengan kualitas yang konsisten, siap memenuhi pasar. Efisiensi dan keseragaman adalah kunci kesuksesan di sini.

Sekarang, bayangkan sebuah sekolah. Ia memiliki gedung yang megah, laboratorium komputer tercanggih, perpustakaan yang lengkap, dan lapangan olahraga yang luas. Gurunya adalah para lulusan terbaik dari universitas ternama, berpengalaman, dan penuh dedikasi. Bahkan, murid-muridnya adalah para peserta didik dengan nilai masuk tertinggi. Logika pabrik sepatu akan menyimpulkan bahwa sekolah ini pasti akan menghasilkan lulusan-lulusan dengan kualitas yang sama-sama unggul dan seragam. Namun, kenyataannya tidak pernah sesederhana itu. Mengapa? Karena sekolah bukanlah pabrik, dan murid bukanlah bahan baku yang pasif.

Perbedaan Fundamental: Bahan Baku yang Hidup dan Bernyawa

Perbedaan paling mendasar terletak pada "bahan bakunya". Sepatu terbuat dari kulit, kain, atau karet—benda mati yang sifatnya dapat dikendalikan dan distandardisasi. Sementara itu, input sekolah adalah manusia, makhluk hidup yang dinamis, unik, dan kompleks. Setiap murid yang memasuki gerbang sekolah membawa serta dunianya sendiri: latar belakang keluarga, kecerdasan yang beragam (bukan hanya logika-matematika), minat, bakat, kepribadian, pengalaman hidup, sosial-ekonomi serta kondisi emosional yang fluktuatif.

Seorang murid mungkin datang dari keluarga yang sangat mendukung, sementara yang lain mungkin sedang menghadapi tekanan di rumah. Ada murid yang berbakat dalam musik tetapi kurang tertarik pada matematika. Ada yang pemikirnya analitis dan lambat, ada pula yang cepat tangkap tetapi mudah bosan. Keragaman inilah yang menjadi kekayaan sekaligus tantangan terbesar dalam pendidikan. Mustahil—bahkan tidak etis—untuk mengharapkan mereka semua menjadi "produk" yang sama setelah melalui "proses produksi" yang standar.

Kurikulum yang Kaku vs. Pembelajaran yang Kontekstual

Pabrik sepatu menjalankan "kurikulum" yang tetap: sebuah blueprint atau desain yang harus diikuti tanpa penyimpangan. Dalam pendidikan, kurikulum memang diperlukan sebagai panduan untuk mencapai kompetensi tertentu. Namun, masalah muncul ketika kurikulum diterapkan dengan kaku seperti mesin produksi. Model "one-size-fits-all", di mana semua murid diajar dengan metode yang sama, kecepatan yang sama, dan diuji dengan soal yang sama, hanya akan menguntungkan segelintir murid yang kebetulan cocok dengan gaya tersebut.

Proses belajar yang sesungguhnya adalah interaksi hidup antara guru, murid, dan pengetahuan. Seorang guru yang hebat bukanlah operator mesin, tetapi lebih seperti petani yang bijak. Petani itu memahami bahwa benih padi, jagung, dan tomat membutuhkan perlakuan yang berbeda: jumlah air, jenis tanah, dan intensitas matahari yang berlainan. Demikian pula, guru yang efektif akan melakukan differentiated instruction (pembelajaran berdiferensiasi). Ia akan mengenali karakteristik setiap muridnya dan membedakan pendekatan, materi, serta penilaian untuk memastikan setiap anak dapat tumbuh sesuai dengan potensinya. Keberhasilan tidak lagi diukur dari keseragaman nilai ujian, tetapi dari sejauh mana setiap murid mengalami kemajuan dari titik awalnya masing-masing.

Tujuan Pendidikan: Keseragaman atau Pemberdayaan?

Tujuan pabrik sepatu jelas: menghasilkan sepatu yang fungsional dan seragam untuk memenuhi permintaan pasar. Lalu, apa tujuan sekolah? Jika tujuannya adalah menciptakan lulusan yang seragam untuk memenuhi "permintaan" dunia industri semata, maka pendekatan pabrik memang mungkin relevan. Namun, pendidikan memiliki tujuan yang jauh lebih mulia dan kompleks.

Tujuan pendidikan adalah untuk memberdayakan setiap individu untuk menemukan jati dirinya, mengasah kemampuan terbaiknya, dan mengembangkan kapasitas untuk berkontribusi bagi masyarakat. Dunia membutuhkan berbagai macam orang: para ilmuwan, seniman, perajin, wirausaha, perawat, dan guru. Mereka semua membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang berbeda-beda. Sebuah sekolah yang sukses adalah sekolah yang mampu melahirkan para pemikir kritis, pemecah masalah, individu yang berempati, dan warga negara yang bertanggung jawab. Kualitas-kualitas ini tidak bisa diukur dengan standar output pabrik yang seragam. Keberhasilan seorang murid mungkin terlihat dari prestasi akademisnya yang gemilang, sementara keberhasilan murid lainnya justru terlihat dari kemampuan sosialnya yang meningkat atau dari rasa percaya diri yang tumbuh setelah ia berhasil menguasai sebuah keterampilan vokasional.

Menerima Keragaman sebagai Sebuah Anugerah

Pandangan yang menyamakan sekolah dengan pabrik sering kali lahir dari keinginan untuk mengukur efisiensi dan akuntabilitas dunia pendidikan dengan angka-angka yang sederhana. Tes standar dan peringkat sekolah memang memberikan ilusi kemudahan dalam menilai kualitas. Namun, kita terjebak dalam fallacy (tipuan) ketika menganggap bahwa apa yang terukur adalah yang paling penting, dan mengabaikan hal-hal penting yang justru sulit diukur, seperti kreativitas, karakter, ketahanan, dan kebahagiaan.

Alih-alih memaksakan keseragaman, sistem pendidikan kita perlu bergeser dari paradigma pabrik menuju paradigma taman. Sebuah taman yang indah justru karena keanekaragaman hayatinya. Bunga mawar, anggrek, dan bunga matahari masing-masing memiliki keindahan dan fungsinya sendiri-sama. Tugas sekolah dan guru adalah menjadi tukang kebun yang sabar dan telaten; menyirami, memupuk, dan memberikan sinar matahari yang cukup untuk setiap "tanaman" unik yang mereka rawat. Mereka menciptakan ekosistem yang subur di mana setiap anak dapat menemukan tanah yang tepat untuk bertumbuh.

Kesimpulannya, metafora sekolah sebagai pabrik adalah metafora yang usang dan menyesatkan. Ia mengingkari hakikat kemanusiaan dari peserta didik. Tantangan terbesar pendidikan modern adalah melawan narasi efisiensi ala pabrik ini dan kembali memusatkan perhatian pada individu. Ketika kita berhenti menuntut keseragaman dan mulai merayakan keunikan, saat itulah kita benar-benar memuliakan proses pendidikan yang manusiawi dan membebaskan. Lulusan terbaik bukanlah salinan satu sama lain, melainkan individu-orisinal yang siap mewarnai dunia dengan caranya masing-masing.

*) Kepala Seksi Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan UPT Diklat Badan Pengelola Islamic Center Kaltim

Redaksi