Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.

Dari Diam yang Menggemaskan hingga Pemberani Bertanya: Membongkar Kultur Pasif di Kelas Indonesia dan Strategi Membangun Keberanian Intelektual

Oleh: Djoko Iriandono*)

Pengantar: Sebuah Kontras yang Menohok

Di tahun 2012, saya berkesempatan mengunjungi beberapa sekolah di Adelaide, Australia. Saat itu, saya menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah SMP Negeri favorit di Samarinda, dan kunjungan ini bertujuan untuk mempelajari secara langsung budaya sekolah serta praktik pendidikan di tingkat dasar dan menengah.

Pengalaman saya berkunjung ke sekolah-sekolah di tingkat TK, SD, dan SMP serta SMA di Adelaide tersebut meninggalkan kesan mendalam. Bayangan kelas yang hidup, dimana tangan-tangan siswa berebutan menjawab dan bertanya, penuh dengan semangat ingin tahu, masih jelas terngiang sampai saat ini. Guru-guru di sana dengan bangga menjelaskan bahwa keberanian itu bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil dari pembiasaan yang sistematis. "Bertanya adalah pertanda mereka sedang belajar," kata mereka. Filsafat pendidikan yang sederhana namun sangat powerful.

Beberapa minggu kemudian, di tanah air, terjadi adegan yang ironis. Saat guru-guru dari Australia itu membalas kunjungan dan masuk ke dalam kelas bilingual—kelas dengan siswa-siswa terpandang yang kemampuan bahasa Inggrisnya lancar—suasana berubah 180 derajat. Pertanyaan yang dilontarkan guru tamu hanya disambut oleh senyap. Ruangan yang penuh dengan potensi intelektual itu tiba-tiba diselimuti oleh diam yang "menggemaskan" sekaligus memprihatinkan. Tidak ada satu tangan pun yang terangkat. Padahal, secara linguistik, mereka mampu.

Peristiwa ini bukanlah sekadar cerita tentang malu atau grogi. Ini adalah sebuah snapshot yang jujur dari sebuah masalah sistemik. Apa yang sebenarnya salah? Mengapa anak-anak Indonesia, yang cerdas dan penuh potensi, sering kali memilih diam di dalam kelas? Artikel ini akan mencoba membedah akar permasalahannya dan menawarkan strategi konkret untuk membangun keberanian bertanya serta kemampuan bertanya yang baik.

Membedah Akar Masalah: Mengapa Diam Lebih Nyaman?

Kepasifan siswa di kelas Indonesia bukanlah tanpa sebab. Ini adalah hasil dari interaksi kompleks antara kultur, sistem pendidikan, dan praktik pengajaran.

  1. Kultur Hierarkis dan "Rasa Sungkan": Masyarakat Indonesia sangat menghormati guru. Namun, penghormatan ini sering kali terdistorsi menjadi jarak yang terlalu lebar. Siswa memandang guru sebagai sosok yang serba tahu (the ultimate knowledge holder) yang tidak boleh diganggu gugat. Bertanya bisa dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan, "menguji" sang guru, atau menunjukkan bahwa penjelasan guru kurang jelas. "Sungkan" atau segan ini menjadi penghalang psikologis yang kuat.
  2. Takut Salah dan Budaya Malu: Dari kecil, anak-anak di Indonesia sering dihadapkan pada konsekuensi dari kesalahan. Salah jawab bisa diejek teman, diberi nilai jelek, atau bahkan dihukum. Lingkungan ini menciptakan ketakutan yang mendalam. Bagi mereka, diam adalah strategi yang aman. "Daripada salah dan dipermalukan, lebih baik diam dan terlihat bodoh," begitu kira-kira pikiran bawah sadar mereka. Padahal, dalam filosofi pendidikan progresif, kesalahan adalah bagian terpenting dari proses belajar.
  3. Sistem Pendidikan yang Berfokus pada Jawaban, Bukan Pertanyaan: Kurikulum kita, terlepas dari berbagai perbaikannya, masih sering terperangkap dalam paradigma "menghasilkan jawaban yang benar". Ujian nasional, ulangan harian, dan tugas-tugas lebih banyak menuntut siswa untuk menghafal dan menemukan satu jawaban pasti. Pertanyaan yang diajukan guru di kelas pun sering kali berupa "pertanyaan tertutup" yang hanya memiliki satu jawaban benar. Akibatnya, siswa tidak terlatih untuk merumuskan pertanyaan. Otak mereka dikondisikan untuk mencari jawaban, bukan melahirkan pertanyaan.
  4. Metode Pengajaran yang Teacher-Centered: Dalam banyak kelas, guru masih menjadi pusat gravitasi pembelajaran (teacher-centered learning). Guru berbicara, siswa mencatat. Ceramah masih mendominasi. Dalam model seperti ini, ruang untuk bertanya sangat sempit. Interaksi biasanya satu arah. Siswa menjadi pendengar pasif, bukan partisipan aktif. Mereka tidak merasa "memiliki" proses belajar tersebut.
  5. Kurangnya Penanaman Growth Mindset: Growth mindset, keyakinan bahwa kecerdasan dapat dikembangkan melalui usaha dan belajar, belum banyak ditanamkan secara sistematis. Sebaliknya, banyak siswa yang memiliki fixed mindset—percaya bahwa kecerdasan adalah bawaan. Siswa yang merasa dirinya "tidak pandai" akan cenderung diam karena takut pertanyaannya mengonfirmasi "kebodohannya" tersebut.

 

Lalu, Bagaimana Solusinya? Membangun Keberanian dan Kemampuan Bertanya

Perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Dibutuhkan pendekatan yang holistik dan konsisten dari semua pihak: sekolah, guru, dan orang tua.

Strategi untuk Guru di Dalam Kelas:

  1. Ciptakan Lingkungan Psikologis yang Aman (Safe Space): Ini adalah fondasi utama. Di hari pertama sekolah, tekankan peraturan kelas yang intinya: "Di sini, tidak ada pertanyaan yang bodoh. Setiap pertanyaan adalah hal yang berharga. Kita akan menghormati setiap usaha untuk belajar." Guru harus konsisten menegakkan ini. Saat ada siswa yang menjawab salah, tanggapi dengan, "Terima kasih sudah berani mencoba. Mari kita cari tahu bersama di mana letak kesalahpahamannya." Hapuskan ejekan antarsiswa.
  2. Berikan Wait Time (Waktu Tunggu): Setelah mengajukan pertanyaan, berhentilah. Hitunglah dalam hati hingga 10-15 detik. Diam sejenak ini terasa canggung, tetapi sangat penting. Siswa butuh waktu untuk memproses informasi dan merumuskan pertanyaan atau jawaban. Guru yang terlalu cepat menjawab pertanyaannya sendiri atau memanggil siswa yang paling pandai akan membunuh kesempatan bagi siswa lain untuk berpikir.
  3. Hargai Setiap Pertanyaan, Sekecil Apa Pun: Saat seorang siswa akhirnya memberanikan diri bertanya, apapun isi pertanyaannya, berikan apresiasi. "Pertanyaan yang bagus!" atau "Aku senang kamu menanyakan itu!" Kalimat sederhana ini membangun kepercayaan diri dan mengirim sinyal bahwa keberanian mereka dihargai.
  4. Gunakan Teknik Think-Pair-Share: Teknik ini sangat efektif untuk mengurangi kecemasan. Setelah mengajukan pertanyaan yang menantang, minta siswa untuk: Think (berpikir sendiri selama 1-2 menit), Pair (berdiskusi dengan pasangannya), lalu Share (berbagi dengan kelas). Dengan berdiskusi berdua terlebih dahulu, siswa merasa lebih percaya diri karena idenya sudah "dites" dengan seorang teman. Ini sangat mengurangi beban "tampil sendirian" di depan kelas.
  5. Ajarkan Secara Eksplisit Cara Bertanya yang Baik: Jangan berasumsi siswa tahu cara bertanya. Ajarkan mereka. Tunjukkan perbedaan antara pertanyaan tertutup ("Siapa presiden pertama Indonesia?") dan pertanyaan terbuka ("Mengapa Soekarno dipilih sebagai presiden pertama?"). Perkenalkan kata tanya seperti "Bagaimana jika...?", "Apa yang akan terjadi seandainya...?", "Mengapa kamu berpikir demikian?".
  6. Mulai Pelajaran dengan Pertanyaan, Bukan Ceramah: Ubah paradigma. Alih-alih langsung menerangkan, mulailah pelajaran dengan sebuah fenomena, gambar, atau masalah yang memancing keingintahuan. Biarkan pertanyaan-pertanyaan mereka yang mengarahkan jalannya pembelajaran (inquiry-based learning).

Peran Sekolah dan Orang Tua:

  1. Revitalisasi Pelatihan Guru: Sekolah harus berinvestasi dalam pelatihan guru untuk menerapkan metode pembelajaran aktif, student-centered, dan inquiry-based. Guru perlu dibekali dengan "toolkit" strategi untuk memancing partisipasi siswa.
  2. Mengubah Sistem Penilaian: Siswa mengejar apa yang dinilai. Masukkan unsur "keberanian bertanya", "kualitas partisipasi dalam diskusi", atau "kemampuan merumuskan pertanyaan" ke dalam komponen penilaian. Ini memberikan sinyal jelas bahwa bertanya sama pentingnya dengan menjawab.
  3. Peran Orang Tua di Rumah: Orang tua dapat mencontohkan budaya bertanya di rumah. Alih-alih hanya memberi perintah, ajak anak berdiskusi. Tanyakan pendapat mereka tentang suatu berita atau film. Saat anak bertanya, jangan katakan "Nanti saja" atau "Itu tidak penting". Hargai rasa ingin tahu mereka. Bacakan buku yang memicu imajinasi dan pertanyaan.

Kesimpulan: Dari Konsumen Pengetahuan Menjadi Produsen Pemikiran

Insiden "diamnya" kelas bilingual saat dikunjungi guru Australia adalah sebuah wake-up call. Itu adalah cermin yang menunjukkan bahwa kelancaran berbahasa asing saja tidak cukup jika tidak diiringi oleh keberanian intelektual. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk menciptakan siswa yang bisa menjawab soal ujian, tetapi untuk melahirkan pemikir kritis, pemecah masalah, dan pembelajar sepanjang hayat.

Dengan membongkar kultur pasif dan secara sengaja membangun lingkungan yang aman dan stimulatif untuk bertanya, kita sedang melakukan investasi terbesar bagi masa depan anak-anak Indonesia. Kita sedang mengubah mereka dari sekadar konsumen pengetahuan yang pasif menjadi produsen pemikiran yang aktif dan pemberani. Mari kita ganti "diam yang menggemaskan" dengan "keriuhan bertanya" yang pendaya, karena dari situlah lahirnya inovasi dan kemajuan suatu bangsa.

Redaksi